Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan berkualitas merupakan syarat untuk membawa Indonesia Maju pada tahun 2045. Namun, penyiapan SDM unggul masih menghadapi tantangan bernama "stunting".
Stunting adalah kondisi ketika balita memiliki tinggi badan dibawah rata-rata. Hal ini diakibatkan asupan gizi yang diberikan, dalam waktu yang panjang, tidak sesuai dengan kebutuhan. Stunting berpotensi memperlambat perkembangan otak, dengan dampak jangka panjang berupa keterbelakangan mental, rendahnya kemampuan belajar, dan risiko serangan penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, hingga obesitas.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyebut angka stunting di Indonesia masih mencapai 24,4 persen. Angka ini masih berada di atas standar yang ditetapkan oleh WHO yaitu 20 persen.
Jumlah kasus stunting di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 27,67 persen. Angka itu berhasil ditekan dari 37,8 persen di tahun 2013.
Meski demikian, angka ini masih lebih tinggi dibandingkan toleransi maksimal stunting yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu kurang dari 20 persen sehingga status Indonesia masih berada di urutan 4 dunia dan urutan ke-2 di Aisa Tenggara terkait kasus balita stunting.
Stunting dan permasalahan kekurangan gizi lain yang terjadi pada balita erat kaitannya dengan kemiskinan. Stunting umumnya terjadi akibat balita kekurangan asupan penting seperti protein hewani dan nabati dan juga zat besi. Pada daerah-daerah dengan kemiskinan tinggi, seringkali ditemukan balita kekurangan gizi akibat ketidakmampuan orang tua memenuhi kebutuhan primer rumah tangga. Namun demikian, menurut Ketua Umum IndoHCF Dr dr Supriyantoro SpP MARS, stunting tidak hanya dialami keluarga miskin, namun juga mereka yang berstatus keluarga mampu atau berada, hal tersebut bisa disebabkan karena kurangnya informasi pada masyarakat tentang pentingnya memperhatikan asupan gizi dan kebersihan diri pada ibu hamil dan anak dibawah usia dua tahun.
Selain kemiskinan, tingkat pendidikan juga berkaitan dengan permasalahan gizi. Minimnya pengetahuan membuat pemberian asupan gizi tidak sesuai kebutuhan. Contohnya adalah kurangnya kesadaran akan pentingnya inisiasi menyusui dini (IMD). Padahal IMD menjadi langkah penting dalam memberikan gizi terbaik.
Menurut Supriyantoro, persoalan stunting tidak bisa dipandang sepele. Anak dengan kondisi stunting cenderung memiliki tingkat kecerdasan yang rendah. Tidak hanya itu, pada usia produktif, individu yang pada balita dalam kondisi stunting berpenghasilan 20 persen lebih rendah. Kerugian negara akibat stunting diperkirakan mencapai sekitar Rp300 triliun per tahun. Stunting pun dapat menurunkan produk domestic bruto negara sebesar 3 persen.
"Kami tidak ingin anak-anak Indonesia kalah bersaing dengan anak-anak negara lain. Kami ingin mereka menjadi manusia yang maju dan unggul. Indonesia sendiri telah memasuki Era Revolusi Industri 4.0. Jika tidak didukung sumber daya manusia yang sehat dan cerdas, maka sulit rasanya Indonesia mampu meningkatkan daya saing," ujarnya.